Sabtu, 01 Desember 2007

Kegagalan Dalam Implementasi System ERP

Kegagalan Dalam Implementasi System ERP

Karya Bakti Kaban HRD, GA & IT Senior Manager & CM Consultant
Dalam dunia bisnis, dampak dari Information Technology (IT) yang sekarang mulai ditambah lagi dengan kata Information & Communication Technology (ICT) ternyata cukup besar dan mampu merubah wajah bisnis. Dengan bantuan ICT ini proses menjadi lebih mudah. Lebih cepat dan tentu saja lebih efektif dan efisien. Salah satu lagi yang mampu diubah oleh penggunaan ICT ini adalah transparansi, suatu kata yang terkadang tidak disukai di Indonesia apalagi di birokrasi (baca:pemerintahan).


Jika kita berbicara tentang system (baca: software), maka akan banyak sekali yang ada di pasaran saat ini. Tergantung bisnis kita IT strategic-nya mau kemana. Bagaimana menentukan IT strategic bagi perusahaan kita, kemudian system apa yang cocok buat kita dan seberapa besar benefi t yang bisa kita dapat dari system yang kita pakai, tentu ada metodologi dan valuation tersendiri untuk mengerjakannya. Tulisan saya kali ini tidak akan membahas tentang hal ini.


Kemudian pertanyaan selanjutnya apa saja yang menjadi penghalang dalam hal instalasi dan implementasi dari software ERP? Serta apakah dengan instalasi dan implementasi ERP maka dipastikan bisnis akan berhasil dalam arti lebih effi sien, produktif, memuaskan pelanggan?
Pada dasarnya yang menjadi penghalang utama dalan hal instalasi dan implementasi ERP ada dua yaitu memperoleh kepercayaan dari para supplier dan partner perusahaan serta adanya resistance untuk berubahan dari internal perusahaan.


Menurut data dari IDC Asia Pasifi k, investasi TI dari perusahaan-perusahaan di Indonesia pada tahun 2001 sebesar US $ 858 juta. Tahun 2002 diperkirakan sekitar US $ 896,6 juta dan tahun 2003 diramalkan sekitar US $ 1,08 miliar. Dari angka tersebut, kontribusi belanja software diperkirakan sekitar 40%-nya.


Berdasarkan data di atas, nilai yang sudah dan hendak ditanamkan di bidang IT memang cukup signifi kan. Alokasi dana sebesar itu yang tujuannya mengintegrasikan semua proses bisnis, efisiensi, meningkatkan produktivitas, mengelola SDM, memuaskan dan mengoptimalkan pelanggan itu, memang sudah seharusnya dilakukan.


Sebab, jika visi dan implementasi benar, hasilnya sungguh luar biasa. Di Amerika Serikat, misalnya, sejak pertengahan 1990-an banyak top eksekutifnya berani mengambil risiko menerapkan teknologi baru dan cara baru berbisnis untuk memacu produktivitas, pemangkasan biaya, dan memuaskan pelanggan. Hasilnya, perusahaan nonkeuangan di sana rata-rata berhasil mendongkrak 25% produktivitas mereka.


Namun masalahnya, banyak juga dari investasi itu yang tak jelas juntrungannya, seperti dipaparkan di awal tulisan ini. Dan itu tak hanya terjadi di Indonesia. Data dari hasil studi The Standish Group, menyebutkan hanya 28% proyek TI besar yang mampu mencapai harapan.
Kenapa banyak proyek TI gagal, idle, atau pengunaannya di bawah kapasitas? Kemungkinan penyebabnya adalah sebenarnya masalahnya lebih ke arah low utilization ketimbang idle.




Masalah itu bisa terjadi -- kalau dilihat dari sisi argumen Business Integration, yang menyebutkan bahwa TI adalah bagian dari program besar menata strategi, proses, organisasi/SDM dan sistem yang perlu dilakukan secara terpadu untuk dapat memperoleh manfaat - karena proyek jadi sangat besar, menyangkut hal non-TI yang cakupannya luas dan kompleks. Hal ini terkadang sulit diterima perusahaan, karena cara berpikir kita yang umumnya berangkat dari organisasi manajemen yang fungsional. Kalau toh rekomendasi itu diterima dan CEO mencoba menerapkan, pelaksanaannya sangat sulit. Sebab, masalahnya justru timbul dalam kultur manajemen yang harus berubah. Ada juga dari pendekatan piece meal.




Dalam hal ini, mungkin sistem TI-nya terpasang, tetapi perubahan tidak terjadi, karena prosesnya hanya berubah sedikit, organisasinya tidak menyesuaikan. Ini akhirnya malah mengkanibal TI-nya, atau strateginya tidak terdukung, lalu meng-overrule sistemnya, meskipun proyek TI-nya sendiri bisa dinyatakan sukses.


Dari hasil penelitian terhadap berbagai implementasi ERP di perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, pada akhirnya di-simpulkan bahwa yang menjadi penyebab utama kegagalan implementasi dan instalasi ini ada beberapa faktor yaitu:


Ketika tidak ada atau kuranngya support dan sponsorship dari Top Executive

Seperti diketahui bahwa instalasi dan implementasi ERP adalah suatu keputusan yang harus diambil dan dimulai oleh para Top Executive, artinya keputusan harusnya adalah Top Down. Apalagi dengan implementasi dan instalasi ini akan berakibat perubahan terhadap proses business. ERP adalah crossfuction dalam satu perusahaan.


Orang-orang harus komit untuk melakukan perubahan di bagian masing-masing. Orang yang dimasukkan dalam proyek akan meluangkan waktunya sebagian besar untuk proyek ini yang pada awalnya tentu kelihatan seperti hal yang tidak berguna sama sekali. Disinilah dibutuhkan support dan sponsorship dari Top Executive.


Ketika proyek dianggap sebagai proyek dari satu departemen saja


Sudah disebutkan diawal bahwa implemntasi dan instalasi ERP adalah crossfuction, artinya proyek tidak akan berjalan semestinya jika ada asumsi bahwa proyek ini hanya milik satu bagian atau departemen saja, misalnya saat implementasi di Departemen Finance, maka deparetemen lain merasa tidak berkepentingan dan jika terjadi fail, dianggap adalah fail tersebut hanya milik depertemen yang bersangkutan. Padahal dengan ERP ini nantinya akan terjadi keterkaitan yang erat antar departemen dan terjadi transparansi dan juga sinergi antara satu bagian dengan bagian yang lain.




Sebagai contoh misalnya saat permintaan hasil produksi besar atau trendnya lagi meningkat maka otomatis bagian produksi akan segera mengetahuinya dan kapasitas produksi bisa ditingkatkan dan bagian raw material bisa menyediakan kabutuhan yang dibutuhkan dengan tepat dan online.


Ketika tidak ada yang diserahkan untuk menjadi Person In Charge (PIC) atau project Manager yang full time


Untuk satu proyek seperti ini maka sangat dibutuhkan seseorang yang memang ditugaskan untuk menjadi PIC atau project manager atau owner project. Hal ini untuk meningkatkan komitmen dan mampunya terpenuhi semua pekerjaan sesuai dengan schedule yang direncanakan. Implementasi dan instalasi ini membutuhkan biaya, waktu dan resources yang tidak sedikit sehingga dibutuhkan seseorang yang bertanggung jawab.


Ketika untuk segala proses dan prosedur implementasi diserahkan hanya ke team IT saja.


Hal ini sangat umum terjadi, dimana para anggota team yang terlibat di proyek implementasi umunya suka menyerahkan saja untuk pengambilan keputusan atau perubahan prosedur ke pihak IT dengan alasan mereka orang teknikal yang menguasai secara baik bidang teknikal. Padahal yang mengetahui prosedur yang benar dibagian masing-masing adalah pihak yang terlibat utama didalamnya, misalnya orang finance untuk di bagian finance, orang produksi untuk dibagian produksi dan seterusnya.


Ketika vendor yang melakukan implementasi kurang atau tidak memiliki kemampuan dan kompetensi yang baik dalam melakukan implementasi dan instalasi.


Disini dibutuhkan vendor yang akan melakukan instalasi dan implementasi sudah memiliki jam terbang yang baik sehingga sudah mengetahui kira-kira problem yang akan muncul dan memiliki kemampuan untuk melakukan solve sesuai dengan pengalaman yang telah didapat sebelumnya.

Tidak ada komentar: