Rabu, 12 September 2007

dalam pusaran Globalisasi

Sebuah tata ekonomi-politik baru sedang berpacu. Ia bukan gejala alamiah. Bukan juga gerak sejarah yang tak terelak. Ia lahir dari revolusi ekonomi liberal yang mulai pada periode kekuasaan Margaret Thatcher di Inggris (1979-1990) dan Ronald Reagan di AS (1981-1989). Jantung dari revolusi itu adalah dilepasnya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial ataupun nasional. Dengan itu, kekuatan raksasa baru dalam skala global lahir: kekuasaan bisnis. Nama umum bagi gejala ini ialah ”neo-liberalisme”. Ketika kita bicara tentang globalisasi ekonomi, sesungguhnya kita sedang bicara tentang tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal.
Mungkin pernyataan itu masih kedengaran abstrak. Untuk lebih kongkret, proses itu melibatkan tiga gejala berikut. Pertama, pada tataran tindakan, tata kekuasaan global ini bertumpu pada praktik bisnis raksasa lintas negara. Kedua, siapa pelaku utamanya? Terutama perusahaan-perusahaan transnasional. Ketiga, proses kultural apa yang dibawa? Proses kultural-ideologis konsumerisme.
Ketiga gejala tersebut tak perlu dilihat sebagai gejala yang lahir dari persekongkolan (conspiracy). Tetapi bukan juga suatu proses alami (natural). Lalu berakar di mana? Jawabnya bisa dibuat sederhana: makin keramatnya hak pribadi untuk menumpuk laba. Untuk itulah modal terus bergerak memburu kawasan-kawasan yang mendatangkan laba paling besar. ”Kawasan” di sini bukan hanya berupa wilayah teritorial, melainkan bidang gerak. Maka demam privatisasi terjadi, termasuk berbagai bidang yang menyangkut urusan paling publik, seperti pendidikan, kesehatan, hutan, dsb. Kalau tarif masuk ke negara A adalah 10%, sedang ke negara B adalah 6%, maka kawanan investor berbondong hengkang dari negara A ke B. Liberalisasi-deregulasi adalah dua mantra dari proses itu. Inilah periode di mana kultur, hukum, politik, ilmu, tradisi, dan berbagai aspek dari ”ruang publik” secara intensif mengalami proses komersialisasi.
Di mana letak agenda peningkatan kesejahteraan, perkara lingkungan, demokrasi dan hak-hak asasi? Jawabnya juga bisa dibuat lugas: Itu nomor dua, atau lima. Artinya, kalau proses akumulasi laba juga diikuti peningkatan kesejahteraan, ya syukurlah. Kalaupun tidak, hal itu toh juga tidak pernah menjadi tujuan. Meningkatnya kesejahteraan hanyalah an unintended consequence. Begitu juga demokrasi dan hak asasi.
Di mana letak pemerintah dalam proses itu? Presiden boleh ganti setiap tahun, baik lewat proses demokratis, ataupun lewat kudeta seperti yang baru saja terjadi di Indonesia. Namun yang lolos dari proses demokrasi adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar-masuk tanpa pemungutan suara. Ketika para investor melarikan modalnya ke luar negeri, itu terjadi tanpa persetujuan kita.
Ambivalensi Globalisasi
Bagi mereka yang mulai dengan asumsi bahwa globalisasi ekonomi hanya membawa tragedi, bisa diajukan data yang mendukungnya. Bagi mereka yang berangkat dari asumsi bahwa globalisasi ekonomi hanya membawa berkah, mudah juga mengutip statistik yang menyokongnya. Kontras memang bisa mengecoh. Sebagaimana umumnya kisah nyata, globalisasi ekonomi adalah gejala yang punya dua muka.
Ambivalensi itu misalnya nampak dalam gejala berikut. Lewat persaingan global, biaya telepon tiga menit antara New York dan London jatuh dari US$ 300 (tahun 1930, dengan kurs dolar tahun 1996) menjadi 45 sen (tahun 1996). Konsumen untung besar. Tetapi sebaiknya statistik itu juga dibaca secara hati-hati. Di tahun 1960, sebanyak 20% warga paling kaya dunia menguasai 70,2% kekayaan dunia, dan 20% warga paling miskin mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Di tahun 1989, kelompok pertama sudah menguasai 82,7%, sedang yang kedua hanya kebagian 1,4%.
Dua pola statistik di atas juga menunjukkan bahwa istilah ”konsumen” adalah istilah yang mengecoh. Mengapa? Karena ia menyembunyikan fakta tentang perbedaan akses yang sangat besar antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Menyebut 20% yang menguasai 82,7% dan 20% yang kebagian 1,4% asset dunia sebagai sama-sama ”konsumen” adalah permainan rapih di buku ekonomi, tetapi kita juga tahu bahwa istilah itu miskin substansi. Di Indonesia, gejala semacam itu juga bisa disimak. Menurut perhitungan Stijn Claessens dkk (1999), 15 keluarga di Indonesia menguasai 61,7% dari keseluruhan kapitalisasi pasar.
Atau mungkin ambivalensi gejala berikut. Di tahun 1999, warga AS membelanjakan US$ 8 miliar bagi kosmetik, beauty clinic dan apa yang berkaitan dengan kultur narcisist. Pada saat yang sama, PBB tidak bisa mengumpulkan US$ 9 miliar untuk membangun fasilitas sederhana air minum bagi seluruh penduduk dunia yang selama ini tidak pernah punya akses pada air minum bersih. Tidak heran jika Jeffrey Sachs, Direktur Centre for International Development pada Universitas Harvard, bilang: ”Meskipun kesejahteraan-nya bergantung pada jaringan dagang, keuangan dan teknologi warga dunia lain, Amerika Serikat dewasa ini menganggap negara-negara lain, terutama negara-negara sedang berkembang, seolah-olah tidak pernah ada” (The Economist, 14/7/2001, hlm. 52).
Daftar indikator statistik semacam bisa diperpanjang, tetapi tidak menghapus fakta tentang ambivalensi globalisasi. Ia ”ambivalen” dalam arti bahwa globalisasi bukanlah gejala yang pada dirinya ”baik” atau ”buruk”, melainkan gejala yang bisa menjadi ”baik” atau ”buruk”. Maka perkara utama globalisasi ekonomi adalah gerakan apa yang bisa membuat ciri ambivalen itu mengarah pada hasil ”baik” bagi semakin banyak warga dunia, dan bukan hanya bagi 20% warga yang paling kaya.
Di situlah kita bertemu lagi dengan soal kinerja kekuasaan yang terlibat dalam proses globalisasi. Kalau kekuasaan atas tingkat kesejahteraan warga dunia semakin berada di tangan para pemilik dan pengontrol modal, dan kalau proses akumulasinya tergantung pada hak pribadi yang tak pernah melewati proses demokrasi, mungkinkah globalisasi membawa hasil baik bukan hanya bagi 20% warga kaya dunia?
Kekuasaan Baru
Segera nampak bahwa gerakan demokrasi bukan sekedar soal mengontrol kekuasaan negara, melainkan soal bagaimana mengontrol praktik kekuasaan raksasa para pemilik modal dan pelaku bisnis. Semakin kencang proses globalisasi, semakin mendesaklah gerakan untuk melakukan kontrol demokratis terhadap praktik kekuasaan bisnis. Tetapi, bukankah itu tugas pemerintah?
Bagi mereka yang sungguh menyimak pola interaksi bisnis dan pemerintah selama 20 tahun terakhir, pertanyaan itu menimbulkan ketawa. Sebabnya sederhana. Sesudah pemerintah berpacu melakukan liberalisasi-deregulasi serampangan, sektor bisnis telah menjadi raksasa baru yang justru memangsa kapasitas pemerintah. Itulah mengapa George Soros, partisipan dalam semua proses ini, mengaku: ”Ritual demokrasi memang dilakukan, namun kapasitas negara untuk mengelola banyak hal sesungguhnya sudah dilucuti oleh kepentingan privat kelompok-kelompok bisnis” (Open Society: Reforming Global Capitalism, 2000, hlm. xi).
Singkatnya, perusahaan-perusahaan raksasa telah menjadi Leviathan baru. Gejala ini dengan mudah bisa kita lihat pada kontroversi yang meledak menjadi demonstrasi besar buruh di Bandung medio Juni 2001 lalu: antara Kepmenaker 21/2000 dan 150/2000 di satu pihak, dan Kepmenaker 78/2001 serta 111/2001 di lain pihak. Pola yang sama juga terjadi dalam banyak kebijakan: pajak, tata kota, pendidikan, lingkungan, dsb. Inilah periode sejarah di mana diagnosa Marx tentang ekonomi-politik justru makin relevan.
Untuk mengenali ambivalensi globalisasi ekonomi, ada baiknya kita turun ke dataran lebih kongkret dalam tiga perkara yang begitu relevan bagi kondisi kita di Indonesia: teknologi informasi, pertanian dan lingkungan hidup.
Wajah Mendua Teknologi
Alkisah, ketika teknologi modern belum menjadi bagian sentral hidup, apa yang kita takutkan adalah risiko yang berasal dari alam, seperti wabah pes, banjir, gempa bumi, dsb. Sesudah teknologi moderen menerobos menjadi bagian tak terpisah hidup kita, banyak dari risiko merupakan bagian kinerja teknologi sendiri. Banjir karena hancurnya hutan oleh proses industrial, bobolnya rekening bank, kematian massal karena jatuhnya pesawat terbang, meledaknya reaktor nuklir Chernobyl (1986), adalah beberapa contoh dari gejala itu. Namanya ”risiko buatan” (manufactured risk).
Dengan mudah kita mungkin akan menuding teknologi sebagai biang-keladi. Cuma, perkaranya tidak sesederhana itu. Sebuah komputer bisa dipakai sebagai alat memburu oposisi, atau bisa juga untuk memanipulasi pajak, tetapi juga bisa menjadi alat untuk memberdayakan rakyat banyak. Contoh ini bisa dikenakan pada berbagai alat teknologi. Hal itu menunjukkan bahwa teknologi juga bersifat ambivalen. Dan di belakang ambivalensi teknologi adalah soal kontrol dan kekuasaan atasnya (the exercise of power).
Teknologi Informasi
Ketika membaca berita bahwa indeks harga saham Nikkei di Tokyo bisa diketahui di Jakarta hanya dalam waktu sepersepuluh detik, suatu bentangan waktu dan ruang sudah dinisbikan. Atau, ketika kita angkat tilpon untuk membeli pizza dari restauran sejauh 5 km dari rumah/kantor kita, sebuah koordinasi ruang-waktu yang baru sedang kita hidupi. Teknologi Informasi (TI) adalah jenius yang mengubah wajah aktivitas ekonomi konvensional (yang mengandalkan interaksi fisik) menjadi ekonomi digital (yang merelativir interaksi fisik). TI telah menjadi prasyarat revolusi yang mencengangkan dalam tata interaksi manusia. Bisa dikatakan: tanpa TI, tak ada globalisasi.
Menurut Information Data Corporation (IDC), dana yang dibelanjakan untuk TI di Indonesia pada tahun 1999 adalah US$638.4 juta, naik menjadi $772.9 di tahun 2000. Jumlah itu belum termasuk investasi dotcom yang berhamburan lalu lenyap bagai buih selama dua tahun terakhir. Dari jumlah $772.9 di tahun 2000 itu, 19.3% ada pada sektor komunikasi dan media, 16,9% di sektor discreet manufacturing, 12,4% pemerintah, dan 11,8% di sektor perbankan. Data statistik semacam mudah ditemukan, namun juga jarang mengatakan gejala besar yang dibawanya.
Pertama, TI telah menjadi medium pembentuk kesadaran, pengetahuan, insting, dan bahkan isi suka-duka kita. Omongan bahwa insting dan rasa-merasa kita adalah hal yang alami makin menjadi omongan yang kehilangan makna. Kalau setiap hari anak-anak kita diserbu iklan TV tentang bergengsinya burger McDonald’s, dalam diri anak berlangsung proses pembentukan jenis status sosial yang berkisar pada tersedianya burger itu di tangan mereka. Maka mereka akan sedih dan tidak merasa hebat jika tidak makan burger McDonald’s. Apanya yang alamiah?
Dalam suatu wawancara yang kami adakan di tahun 1998, seorang manajer iklan di Jakarta mengungkapkan strategi bahwa sasaran kinerja iklan komersial dewasa ini adalah memainkan tiga insting manusia, semua diarahkan untuk menjaga keharusan membeli hal yang diiklankan: (1) insting kepemilikan, (2) insting status, (3) sensualitas-seksualitas. Itulah jantung utama dari konsumerisme. Lewat proses itu secara perlahan terbentuk suatu masyarakat yang memburu kebutuhan ini: kita tak cuma naik mobil, melainkan naik Porsche; kita tidak mau cuma memakai blazer, melainkan memakai Armani.
Kunci untuk memahami konsumerisme adalah dalil sederhana berikut. Mengapa di tengah lautan kemiskinan orang menumpuk barang/jasa dengan merk yang berharga absurd? Karena barang/jasa dengan harga absurd itu memberi mereka sebuah klaim pada status, prestise dan pédé. Obsesi kita akan hal-hal itu persis menjadi prasyarat mutlak bagi kelangsungan bisnis gaya-hidup di seluruh dunia (dari beauty clinic sampai mobil mewah).
Tanpa itu, bisnis gaya-hidup akan mati. Maka, juga seandainya kita tidak punya kebutuhan akan barang/jasa tersebut, para kapten iklan dari bisnis gaya-hidup akan melakukan upaya sekuat tenaga untuk menciptakannya. Caranya? Menyerbu media-massa dengan memainkan insting pemilikan, status dan sensualitas kita. Alatnya? Teknologi Informasi.
Kedua, TI bisa dipakai mengorganisir jaringan gerakan untuk membangun Indonesia yang punya etos demokratis dan solidaritas. Namun di tangan kepentingan tak terkontrol dari kelompok-kelompok yang hanya memburu akumulasi laba, TI juga bisa meremuk banyak aspek hidup bersama. Bahwa proses perusakan itu tidak pernah dimaksudkan bukanlah inti soalnya.
Sekali lagi, kita bertemu dengan wajah ambivalen TI. Bukan TI sendiri yang menjadi masalah, melainkan di tangan kekuasaan seperti apa. Dari sini juga menjadi jelas bahwa perkara teknologi bukan sekedar soal ketrampilan teknis, melainkan kepekaan terhadap praktik-praktik kekuasaan yang punya konsekuensi sosial. Perkara ini juga berlaku dalam banyak bidang, misal: pendidikan, lingkungan, pertanian.
Teknologi Pangan
Pada tanggal 19 Mei 1994, Calgene Inc., sebuah perusahaan bioteknologi, mendapat lisensi Badan Administrasi Makanan dan Kesehatan AS untuk memasarkan sayuran jenis baru. Namanya Flavr Savr. Sayur baru itu berupa tomat yang sudah dimodifikasi secara genetik (genetically modified/GM) sehingga awet. Inilah contoh dari jenis sayur yang bukan lagi alami. Seorang pemikir lingkungan, Donna Haraway (1997), mencatat tanggal 19 Mei 1994 itu sebagai hari yang diperkirakan akan mengubah perjalanan hidup ilmu dan masyarakat. Dia menempatkan tomat transgenic tersebut dalam satu deret bersama nilon dan plutonium yang sudah mengubah sejarah teknologi sintetis.
Pada klaim itu adalah argumen berikut. Bioteknologi mencakup budidaya selektif, hibrid, hingga tumbuhan dan organisma yang dimodifikasi secara genetik. Kelebihannya adalah bahwa proses itu memungkinkan produksi yang lebih tinggi, namun diharapkan tetap akrab dengan lingkungan, penggunaan minim pestisida, pupuk kimia dan efek rumah kaca. Argumen lain adalah penyelamatan keragaman hayati dan percepatan proses evolusi tumbuhan lewat seleksi karakteristik gen yang baik dan dominan. Tentu saja klaim ini hanyalah separuh dari cerita.
Pertama, pertanian moderen yang bersifat monokultur sangat rawan terhadap masalah lingkungan. Keanekaragaman hayati terancam hilang. Demikian juga dengan bahaya kerusakan dan pencemaran tanah, air, dan udara. Ekosistem menjadi lebih rentan pada hama dan penyakit. Muncullah deretan domino manufactured risks yang makin hari bertambah panjang. Proses genetisasi memang mencakup lokalisasi mutasi gen, tetapi tetap tak terelak proses perpindahan dan bahkan mutasi gen antar tumbuhan transgenic. Kita samasekali tidak tahu akibat dari perpindahan dan mutasi itu bagi tata lingkungan dan kesehatan.
Bagi kepentingan bisnis, soal-soal seperti itu tentu tidak pernah menjadi masalah. Genetisasi tomat menjadi Flavr Savr merupakan pintu masuk untuk genetisasi semangka, atau juga trans-genetisasi antara tomat dan semangka. Dari situ akan melompat ke ternak, dan seterusnya. Andaikan kita menepis dulu masalah rumit bioetika, proses ini tentu sangat menguntungkan kepentingan bisnis. Namun mungkin di situlah terletak perkara yang selama ini jarang kita tanyakan.
Kedua, sebagaimana kita hafal benar, proses genetisasi ini makin terpusat di tangan perusahaan-perusahaan raksasa, seperti halnya dengan konsentrasi industri software di tangan Microsoft. Seperti dalam bisnis kecantikan, salah satu strategi bisnis yang dipakai dalam industri pangan adalah penciptaan ketergantungan para petani pada bibit dan pupuk yang diproduksi perusahaan-perusahaan tersebut. Misalnya, proses produksi kedelai yang bernama round-up ready soybeans.
Kedelai itu hanya bisa ditanam di tanah yang sudah diberi sejenis cairan kimia pembersih tanah. Di berbagai kawasan ditemukan bahwa petani tidak lagi bisa membudidayakan benih sendiri karena tanaman berikutnya menjadi mandul. Plasma nuftah punah. Petani tidak lagi bebas memilih benih, melainkan mereka tergantung pada jenis benih yang diproduksi perusahaan-perusahaan raksasa itu. Bukankah pola itu juga yang terjadi dalam industri software?
Kata ”pasar” (market) berarti tukar-menukar. Ia merupakan cara jitu dalam kegiatan ekonomi yang sudah dipakai para leluhur kita beribu tahun lalu. Tetapi istilah ”sistem pasar” (market system) dewasa ini adalah makhluk lain lagi. Ia berarti cara mengorganisir seluruh aspek hidup bersama dengan logika akumulasi laba.
Ketika para eksekutif perusahaan-perusahaan berpidato tentang visi globalisasi, mereka bukan sedang menjadi pewarta demokrasi ataupun solidaritas global, melainkan mengejar setiap kesempatan bagi akumulasi laba. Oleh karena itu tidak perlu heran jika mereka lebih kerasan bekerja sama dengan Jenderal Pinochet ketimbang dengan Salvador Allende di Chile, atau lebih suka Jenderal Soeharto ketimbang Soekarno.
Maka, kalau kita membaca atau mendengar para investor memakai kata ”pasar”, moga-moga kita tidak mudah takjub terkesima. Istilah itu memang berarti proses tukar-menukar. Namun di belakang layar, kita juga sedang berhadapan dengan permainan kekuasaan yang berakar dari kontrol atas modal. Bukankah fakta ini punya implikasi besar pada pengertian dan proses demokrasi? (Bersambung).

Tidak ada komentar: