Rabu, 12 September 2007

Briket Batu Bara,Energi Alternatif Rumah tangga

KITA memang tertinggal jauh dalam memanfaatkan briket batu bara sebagai energi rumah tangga. Murahnya harga BBM --dikarenakan suntikan subsidi yang terjadi beberapa tahun lamanya-- menyebabkan briket batu bara tidak memperoleh tempat di dapur para ibu rumah tangga. Kondisi tersebut sangat lain dibandingkan dengan RRC, yang telah memasyarakatkan briket batu bara sejak akhir dekade 70-an.
Menurut harian Shanghai Star edisi 12 Agustus 2000, pada 1980 terdapat 6 pabrik briket batu bara di Shanghai, memproduksi 12 juta ton briket batu bara per tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain untuk keperluan dapur, juga sebagai bahan bakar penghangat ruangan ketika musim dingin tiba. Jika di awal 2000 seluruh pabrik briket batu bara di Shanghai pada akhirnya ditutup, itu disebabkan oleh perubahan kebijakan pemerintah setempat. Masyarakat dialihkan untuk memanfaatkan gas bumi, dan program tersebut juga berhasil baik.
Di negara yang jauh lebih miskin ketimbang kita, yakni Zambia, Botswana, Malawi, dan Tanzania di Afrika, briket batu bara sebagai energi alternatif digarap dengan sungguh-sungguh. Bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA), para peneliti Afrika mengembangkan tungku tanah liat yang cocok untuk pembakaran briket batu bara, memproduksinya secara massal dan memasyarakatkannya. Program itu pun berhasil dengan baik. Nah, Bagaimana dengan kita? Akankah kita, yang konon tinggal di tanah nan kaya-raya dengan ketersediaan segala sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyejahterakan seluruh bangsa, justru tergagap ketika hendak memanfaatkannya?
Bahan bakar alternatif
Pasca-kenaikan harga semua jenis BBM oleh pemerintah, hampir semua daerah di Indonesia mengalami krisis kelangkaan minyak, baik jenis bensin, solar maupun minyak tanah. Sangat ironis memang, negara kita yang merupakan salah satu negara eksportir minyak mentah justru mengalami krisis kelangkaan minyak di dalam negerinya sendiri. Hal ini terjadi karena kilang minyak yang kita miliki tidak mampu mengolah minyak mentah sendiri, sehingga kita harus mengimpor minyak mentah kualitas bagus dari negara lain yang saat ini harganya melambung tinggi. Sementara itu, minyak mentah yang kita miliki harus diekspor untuk diolah melalui kilang-kilang modern milik negara maju.
Antrean panjang di SPBU-SPBU menjadi fenomena yang mewarnai keseharian berita di media cetak dan elektronika. Bahkan di beberapa daerah si pengantre harus menginap di SPBU untuk mendapatkan bahan bakar kendaraannya. Kondisi ini sebetulnya berpotensi terjadinya komplik yang besar, baik antara pemilik SPBU dengan konsumen maupun antarsesama konsumen. Perlakuan pilih kasih, misalnya, dari pemilik atau aksi serobot dari sesama pengantre berpotensi menimbulkan keributan. Karena itu, kondisi seperti ini jangan dibiarkan berlarut-larut dan mesti diatasi secepatnya dan diantisipasi melalui pembuatan kebijakan-kebijakan pemerintah agar di masa datang tidak terulang kembali.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mencari energi alternatif. Salah satu sumber bahan bakar alternatif yang murah dan tersedia keberadaannya dalam jumlah besar adalah batu bara. Namun, penggunaannya dalam bentuk aslinya sebagai bahan bakar masih menyisakan beberapa masalah, di antaranya sulit dinyalakan, sulit dikendalikan, dan menghasilkan asap.
Untuk mengatasi hal tersebut, para peneliti telah mengembangkan teknologi pengubahan batu bara ke bentuk bahan bakar yang menyenangkan. Pertama, pengubahan batu bara menjadi bahan bakar gas (teknologi gasifikasi). Kedua, pengubahan batu bara menjadi bahan bakar cair (teknologi liquifaction). Ketiga, pembentukan suspensi batu bara-air (teknologi coal-water fuel). Keempat, pengubahan batu bara menjadi bahan bakar padat tak berasap (teknologi briquette).
Dari empat teknologi alternatif tersebut, tiga di antaranya menghasilkan bahan bakar berwujud cair dan gas. Teknologi briquette (briket) yang dikembangkan saat ini adalah teknologi pembentukan bahan bakar berwujud padat yang menyenangkan, yakni mudah dinyalakan dan lebih sedikit tidak berasap. Caranya, batu bara dibubukkan, kemudian dicampurkan dengan bahan pengikat dan bahan penyulut. Lalu dicetak sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Teknologi ini pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah tahun 1993, yakni dengan dikeluarkannya keputusan presiden tentang program penggantian bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah ke briket batu bara untuk pulau Jawa.
Kendala tradisi
Bagaimana cara pakainya, kompornya seperti apa, apa cukup aplikatif untuk digunakan dalam rumah tangga, atau lebih simpel mana dengan kompor minyak tanah?" Pernyataan seperti ini yang selalu mengemuka bila masyarakat diberi opsi untuk mulai memanfaatkan sumber energi. Hal ini merupakan imbas dari kondisi masyarakat kita yang cenderung lebih memilih segala sesuatu yang praktis, sehingga masyarakat kita lebih memilih kompor minyak tanah atau kompor gas untuk memasak, meskipun biaya yang dikeluarkan akan jauh lebih mahal.
Hingga saat ini, minyak tanah masih menjadi idola bahan bakar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi keluarga. Akibatnya, saat harga semua jenis BBM melambung tinggi, para ibu yang biasa menggunakan minyak tanah menjadi kalang kabut. Mereka belum siap untuk menggunakan energi alternatif lain, semisal briket batu bara.
Keberadaan briket batu bara sebetulnya bukanlah barang baru dalam dunia industri maupun kebutuhan energi rumahan. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), misalnya, secara terus menerus dan konsisten melakukan penelitian tentang penggunaan briket batu bara sebagai energi alternatif. Hasilnya ternyata cukup menggembirakan, yaitu sebuah campuran komposisi batu bara yang berkualitas dengan tingkat kemudahan pembakaran yang cukup tinggi dan tentunya efisien.
Sejak awal pemerintah mencanangkan program pengusahaan briket batu bara diproyeksikan untuk rumah tangga. Namun, gaung dan sambutan konsumen rumah tangga kurang memuaskan. Di samping itu, daya saing harga briket dengan minyak tanah yang masih disubsidi pemerintah telah membuat briket kurang kompetitif. Hal inilah yang mengakibatkan berubahnya arah pemasaran briket, yang semula lebih diutamakan pengguna rumahan, kemudian lebih diarahkan ke industri. Saat ini, saat semua harga BBM melambung tinggi, penggunaan briket batu bara untuk rumah tangga tentu perlu mulai dipertimbangkan lagi.
Sejak kenaikan harga minyak tanah menjadi Rp 2.000,00 atau HET Rp 2.300,00 masyarakat mulai menjerit. Pasalnya, nilai HET yang ditetapkan pemerintah tidaklah sesuai dalam praktik di lapangan. Harga minyak tanah untuk wilayah DKI, Jabar dan Banten saja, sudah mencapai Rp 3.000,00. Dengan harga yang sedemikian tinggi pun, minyak tanah masih tetap saja seringkali sulit ditemukan di pasaran.
Akibat kondisi ini, akhirnya pemerintah mencari alternatif lain, yaitu memasyarakatkan kembali penggunaan briket batu bara yang pernah digaungkan pada tahun 1990-an. Seperti diberitakan hampir semua media cetak (7-8 Oktober 2005), berkaitan dengan kenaikan harga BBM ini pemerintah segera memfasilitasi pengadaan 10 juta tungku briket batu bara untuk menggantikan pemakaian minyak tanah di rumah tangga.
Menurut prediksi, batu bara baru akan bisa bersaing dengan minyak tanah bila harga minyak tanah sudah mencapai harga di atas Rp 1.000,00/liter. Tentu saja saat ini kondisi tersebut sangat memungkinkan dengan kenaikan harga minyak tanah menjadi di atas Rp 2.000,00/liter.
Beberapa industri yang sejak lama sudah terbiasa memanfaatkan sumber energi murah ini adalah pabrik tahu sumedang, pengeringan teh, pengeringan kayu, pabrik dodol garut, pengolah ikan pindang, dan beberapa industri kecil lain yang memanfaatkan tungku pemanas. Tungku pemanas berbahan bakar batu bara arang batok ternyata jauh lebih ekonomis dibanding yang berbahan bakar minyak tanah, gas, atau listrik.
Pengembangan briket
Dalam sejarah pengembangan briket di Indonesia, Januari 1993 tercatat sebagai awal pencanangan pemanfaatan briket batu bara untuk rumah tangga. Kemudian pada bulan Oktober 1993 keluarlah Instruksi Menteri Pertambangan dan Energi kepada PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA) sebagai satu-satunya BUMN pertambangan batu bara untuk memproduksi briket batu bara dan menyalurkannya ke industri kecil dan rumah tangga.
Untuk menjalankan tugas pemerintah itu beberapa pabrik di bangun dengan spesifikasi produk yang berbeda-beda. Di Tanjung Enim, misalnya, dibangun pabrik briket untuk memproduksi briket super (berbentuk butiran telur) dan briket karbonisasi dengan kapasitas produksi terpasang mencapai angka 10.000 ton/tahun. Di Lampung, dibangun pabrik briket batu bara (telur) karbonisasi dan non-karbonisasi dengan kapasitas produksi terpasangnya mencapai 5.000 ton/tahun. Di Gresik, dibangun pabrik briket (kubus) non-kabornisasi dengan kapasitas produksi terpasang mencapai 120.000 ton/tahun.
Hingga kini, pengembangan briket batu bara sebagai energi alternatif masih menghadapi kendala. Salah satunya, harga jual yang masih berada jauh di bawah harga pokok produksi, yaitu rata-rata Rp 850,00 (data per 1 Januari 2004). Hal ini mengakibatkan kapasitas terpasang pabrik-pabrik yang dimiliki PTBA sebagai BUMN yang ditunjuk pemerintah untuk mengembangkan briket batu bara ini tidak optimal. Menurut data yang penulis peroleh dari Unit Pengusahaan Briket Batubara PTBA tahun 2003, dari kapasitas terpasang 120.000 ton/per tahun, baru digunakan untuk produksi sebesar 5-7 persen. Sementara, jika persentase tersebut dinaikan, akan berdampak pada bertambahnya "subsidi" yang dikeluarkan perusahaan untuk menutupi kekurangan harga pokok produksi sebesar rata-rata Rp 1.200,00/kg.
Pengusahaan briket batu bara sejak awal pencanangannya oleh pemerintah, sebetulnya ditujukan untuk menggantikan ketergantungan masyarakat terhadap pemakaian minyak tanah dan kayu bakar. Namun, gencarnya sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah bersama beberapa perusahaan dan LSM ini ternyata belum membuahkan hasil.
Daya serap pasar briket hingga kini masih belum optimal. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh sangat besarnya subsidi yang diberikan pemerintah untuk penggunaan minyak tanah oleh masyarakat. Di samping itu, upaya mengubah kebiasaan lama dalam penggunaan minyak tanah ke kebiasaan baru dengan menggunakan briket batu bara memerlukan waktu yang cukup lama. Bagaimana setelah kenaikan harga semua jenis BBM termasuk minyak tanah?
Setelah pemerintah menaikkan harga semua jenis BBM, termasuk minyak tanah, masyarakat mungkin akan mulai melirik energi alternatif briket batu bara. Seiring dengan itu, pemerintah harus mulai untuk menata kembali pilot project pengusahaan briket batu bara yang telah ditugaskan kepada BUMN melalui peningkatan harga jual briket pada tingkat harga yang menguntungkan, meningkatkan kapasitas produksi pabrik-pabrik briket yang ada saat ini serta menyiapkan regulasi baru bagi pengembangan usaha briket batu bara ke depan.***
Asep Mulyadi, pemerhati masalah energi alternatif.

Tidak ada komentar: